Sabtu, 23 April 2011

Kartini: Nilai Perjuangan yang terdegradasi


Perayaan hari Kartini selalu dilakukan dalam lingkup nasional maupun daerah, dalam berbagai tingkatan umur dari tahun ketahun. Memasuki bulan april, berbagai  event kegiatan bertemakan ”kartini” telah ramai menjadi topik khusus.  
Kartini memang seorang perempuan yang luar biasa, sosok yang lebih maju daripada perempuan pada umumnya di zaman ketika beliau hidup. Hal ini terlihat dari cara beliau menuturkan pemikirannya, sikap dalam menjalani hidup serta tindakan nyata yang dilakukannya dalam menjawab permasalahan sosial.
Setidaknya terdapat empat hal menarik dari karakter Kartini pada proses pembelajaran makna perjuangan beliau. Pertama, Bagaimana Kartini dapat mengemukakan pikirannya dengan lugas dan cerdas. Bagaimana Kartini dapat menyampaikannya dengan baik bahwa budaya bangsawan Jawa yang kaku menghalangi kemajuan perempuan Jawa. Cara penyampaiannya yang cerdas menarik banyak simpati publik terutama pihak pemerintah Belanda yang sedang melakukan kebijakan politik etis.
"Sesungguhnya adat sopan santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak berlalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah dengan menundukkan kepala sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh ber-kamu dan ber-engkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dengan bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah.

Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya harus perlahan-lahan sehingga hanya orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya,langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput. Bila berjalan agak cepat dicaci orang, disebut kuda liar"


Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899

Kemampuan Kartini menyampaikan ide dengan baik ini juga terlihat dalam keberhasilannya di kemudian hari, membuat suaminya mengerti apa yang dia perjuangkan, sehingga ide membuka sekolah baru untuk perempuan setelah beliau menikah tidak hanya disetujui tetapi juga didukung penuh oleh suaminya. Kedua, Kartini memiliki jiwa kepemimpinan dan kepedulian sosial yang sangat tinggi. Di tengah ketidakberdayaan perempuan pada zamannya, Kartini tidak meratapi nasib melainkan menjawab permasalahan dengan membuka sekolah untuk perempuan. Ketiga, Kartini memiliki cara berpikir analitis dan strategis. Beliau dapat membaca situasi sosial masyarakat, dalam hal ini dapat melihat bagaimana pengaruh bangsawan dalam melakukan aksi nyata menuju arah yang lebih baik. Seperti yang dikatakannya bahwa apabila kaum bangsawan melakukan perubahan maka rakyat kecil akan mengikutinya. Keempat, Kartini memiliki pikiran yang terbuka terutama dengan nilai-nilai dunia barat tetapi juga sadar akan identitasnya sebagai manusia Indonesia yang menjunjung nilai ketimuran yang sopan. Kartini sadar bahwa dirinya berbeda dengan bangsa barat.
Perjuangan dan perjalanan hidup Kartini telah menjadi sebuah inspirasi unik yang bersifat nasional (bukan hanya sekedar suku Jawa saja) yang membawa perempuan Indonesia menjadi manusia yang utuh, tidak hanya berkontribusi dalam tataran domestik saja, tapi juga bisa berkontribusi nyata kepada masyarakat.  
Namun pada kurun waktu kekinian perjuangan Kartini dapat dikatakan mengalami pergeseran nilai yang justru menjauhi nilai inti perjuangannya. Kartini telah menjadi komoditi dalam perang pemikiran yang kontraproduktif terhadap penyebaran nilai inti perjuangan Kartini itu sendiri. Pertama adalah pengkultusan Kartini yang membuat segala pemikiran yang ditawarkan oleh Kartini adalah kebenaran, dan kedua, kenyataan bahwa kampanye pemikiran pemberdayaan perempuan yang tidak seimbang.
Kartini adalah seorang manusia yang terus belajar, dan sebenarnya hal tersebut sangatlah terlihat dalam kumpulan surat Kartini yang ”utuh”.  Sebagai contoh, banyak pihak yang mempertanyakan mengapa Kartini akhirnya menerima poligami, padahal di awal kumpulan surat-suratnya beliau sangat menentang praktik tersebut. Fakta ini juga sejalan dengan kenyataan bagaimana Kartini mempertanyakan pada awal surat-suratnya mengapa harus membaca kitab suci agamanya tanpa tahu artinya, tapi pada surat beberapa tahun berikutnya menyatakan bahwa Kartini akhirnya bisa memahami arti kitab suci tersebut, yang mana surat terakhir tersebut di bawah ini, tidak pernah ada dalam buku Habis Gelap terbitlah Terang.

"Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al-Quran(surah al-fatihah) yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah SWT. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa? Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"


"Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu tedapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?"


Surat R.A. Kartini kepada Ny. E.E. Abendanon, 27 Oktober 1902

Terkait dengan kampanye pemberdayaan perempuan di Indonesia yang tidak berimbang, kenyataan bahwa banyak artikel dan buku yang dalam menjelaskan alasan di balik perlunya pengembangan perempuan adalah karena perempuan merupakan korban penindasan laki-laki. Hal ini juga didukung oleh pemaparan data-data mengenai kekerasan rumah tangga, sehingga secara implisit ada penyampaian pesan sebaiknya perempuan tidak menikah karena akan menyiksa dirinya sendiri dan memperlambat kemajuan eksistensi sosialnya.  Di sini Kartini kembali dijadikan komoditi dalam mempromosikan ideologi radikal tersebut dengan mengutip analisa bahwa akhirnya Kartini kalah dalam tekanan sosial dan pasrah dengan kenyataan menerima poligami. Padahal dari kumpulan tulisannya dapat kita temukan bahwa ketika Kartini menikah beliau tetap berkontribusi ke masyarakat melalui pendirian sekolah yang didukung penuh oleh suaminya, serta juga melakukan tugas paling mulia sebagai perempuan dengan melahirkan putranya.
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjalanan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama".

Surat R.A. Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902
Mari kita merenungi apa makna di balik perjuangan Kartini. Mengembalikan nilai perjuangan Kartini yang terdegradasi oleh penafsiran yang tidak utuh terhadap kaya-karyanya dengan meneladani perbuatan luhurnya dalam memperbaiki kondisi sosial, meneladani sikap hidup yang bijak, serta  tentunya menerapkan ”karakter Kartini” dalam kehidupan sehari-hari, bukan dengan melakukan debat ”ideologis” mengenai masalah pemberdayaan perempuan, posisi, dan kebebasannya. Dengan demikian apa yang diperjuangan Kartini dalam meningkatkan martabat perempuan Indonesia dapat terwariskan secara menyeluruh dan terus-menerus di masa depan.
Sumber:
www. Wikipedia.com
www.randy’s wife journal
audio: sejarah kartini; ustd ilham jaya Lc